mitsubishi

International Market Open

Economic calendar

FOREX

Rabu, 23 November 2011

Siasat Bank, KTA Syaratkan Kartu Kredit


 



Satu dari 19.000 penduduk Indonesia adalah pemegang Kartu Kredit. Dalam lima tahun sejak 2005 jumlah Kartu Kredit yang beredar bertambah dari 6 juta ke 12,5 juta kartu. Jika rata-rata setiap kartu memberikan kredit senilai Rp 12,8 juta, maka di tahun 2011 sedikitnya Bank Indonesia mencanangkan dana senilai Rp 160 triliun atau sekitar 13,3% dari APBN 2011. Dana sebesar ini didistribusikan ke sejumlah Bank atau badan keuangan sejenisnya untuk dikreditkan ke nasabah pemegang kartu kredit. Umumnya nasabah menggunakan untuk kebutuhan yang  bersifat konsumtif dan kecil kemungkinan untuk perputaran roda ekonomi yang berkelanjutan.

Nilai Rp 160 triliun ini besarnya sama dengan 163 kali Rp 978.6 miliar -  anggaran Kementrian Koperasi dan UKM dalam APBN 2011  yang sebagiannya dianggarkan untuk dana pengayoman 175 ribu anggota koperasi. Padahal semua mengerti bahwa Koperasi merupakan pintu terdepan transaksi ekonomi dengan masyarakat ekonomi lemah yang  memiliki peluang besar untuk perputaran roda ekonomi yang berkelanjutan.

Itu sebuah perbandingan saja, dimana kita perlu lebih jauh belajar menerapkan prisip ekonomi yang efisien dan efektif tanpa mengabaikan sektor yang sebenarnya sangat potensial dalam mendorong pengembangan ekonomi rakyat skala kecil dalam perkebunan, perikanan, industri kecil, kerajinan dan sebagainya.

Menjadi ironis bagi masyarakat ekonomi lemah yang ingin memulai usaha namun tidak memiliki kesempatan mendapatkan pinjaman modal. Besar anggaran yang dimiliki Kementrian Koperasi dan UKM sangatlah tidak sepadan dengan jumlah debitur di masyarakat ekonomi lemah yang beranimo memperoleh pelatihan dan pendidikan dagang dalam unit kerja koperasi. Kemungkinan besar anggaran tersebut  telah dirancang untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan dengan prioritas anggota koperasi yang resmi terdaftar.

Sebagian dari kita mungkin pernah menerima SMS dari agen suatu Bank yang menawarkan KTA dengan salah satu syaratnya adalah copy Kartu Kredit yang masih berlaku. Persyaratan seperti ini merupakan siasat yang tidak sehat. Tidak ada hubungannya antara Kredit Tanpa Anggunan dengan Kartu Kredit yang dimiliki.

Tidak semua orang juga senang menggunakan Kartu Kredit, bahkan sebagian orang berpikir Kartu Kredit justru cenderung membebankan keuangan pribadi berdasarkan bunga dan sistem tagihan yang diterapkan, yang kadang tidak memiliki acuan yang baku.

 Pertanyaannya adalah “Mengapa Bank mempersyaratkan copy Kartu Kredit untuk pengajuan KTA?”
Ada kemungkinan istilah KTA hanyalah untuk tujuan mempermudah membujuk seseorang untuk meminjam sejumlah uang dari Bank, dibandingkan orang tersebut ditawarkan memiliki kartu kredit baru.  Jika diperhatikan lebih jauh, bunga KTA pun tidak lebih baik dari Kartu Kredit.

Kembali kepada kebutuhan modal oleh masyarakat ekonomi lemah, jika KTA mempersyaratkan copy kartu kredit yang berlaku, apa iya program ini bisa menjangkau mereka. Akhirnya toh KTA hanya untuk mereka yang tercatat mapan, yang memiliki kartu kredit, yang cenderung dipaksa untuk meminjam, bahkan hanya meminjam untuk tidak digunakan. Nilai Rp 160 triliun itu hanya berputar di lapisan tertentu, tidak menyentuh lapisan yang justru membutuhkan untuk perbaikan ekonomi dan kesejahteraan mereka.



Jangan Dimasukin Dulu...




Tulisan ini hanya untuk mereka yang dewasa, mengingat adanya material-material dan pembahasan  detil yang memerlukan sikap dewasa dalam memahaminya. Penulis berusaha mengungkapkan dengan cara apa adanya dalam bahasa yang sangat sederhana yang mudah dipahami oleh semua lapisan pembaca dewasa. Jika sisi keimanan anda merasa terusik oleh judul tulisan "Jangan Dimasukin Dulu...", sebaiknya jangan melanjutkan membacanya.

Masuk ke dalam paragraf ini, berarti anda telah tersaring sebagai pembaca yang merasa keimanannya tidak akan terusik oleh judul tulisan "Jangan Dimasukin Dulu..." Atau mungkin sebagian dari anda sebenarnya merasa tidak nyaman, tetapi dorongan rasa ingin tahu begitu besar sehingga tetap melanjutkan membaca meski sudah dianjurkan "jangan melanjutkan..."

Baiklah kalau begitu. Sampai disini, anda merasa belum ada kaitannya antara judul "Jangan Dimasukin Dulu..." dengan dua paragraf di atas yang telah anda baca. Tunggu, saya tidak ingin mengatakan "jangan meloncat ke paragraf di bawah..." karena larangan ini justru memicu anda untuk melakukannya.

Kata "Jangan" atau maknanya sepertinya mempunyai daya hipnotis  mungkin juga magis yang sangat kuat. Manusia terlahir hidup dan tumbuh dewasa bersamaan dengan rasa keingintahuan yang besar. Rasa keingintahuan itu membuat manusia mengenal, dekat dengan alam, menguasai ilmu pengetahuan dan sebagainya... dan sebagainya. Kata "Jangan" bermakna sangat berlawanan dengan dorongan rasa ingin tahu manusia. Sejak pertama kali diciptakan, manusia pertama kali pula melakukan pelanggaran atas kata "Jangan". Jadi tidak akan cukup waktu jika ingin menjabarkan semua pelanggaran atas kata "Jangan".

Jadi kata "Jangan" memang mempunyai daya hipnotis dan magis yang sangat kuat bagi manusia. Semakin dikatakan "jangan", maka akan semakin besar pula rasa ingin tahu manusia atas ada apa dibalik kata "jangan" itu. Jadi hati-hatilah terhadap kata "Jangan". Bagi anda yang telah membaca sampai paragraf ini, mungkin kecewa, "Jangan dimasukin dulu dalam hati" kalau memang tidak mendapatkan hubungan antara judul dan isi, yah... "Jangan dipikirin..."

Keputusan, Tidak Menepati


Gusar, hati panas, gigi gemeretak, terkadang meninju tembok, atau apapun bentuknya bisa merupakan suatu aksi untuk sekedar melepaskan beban tekanan emosi yang tengah menyesak di dada.  Itulah kemungkinan yang terjadi bila seseorang mengalami pembatalan janji atau komitmen yang tidak diduga sebelumnya. Sikap demikian tentu tidak bisa digeneralisasikan ke semua orang.

Beban emosi karena persoalan di atas bisa dikatakan manusiawi. Apalagi bila komitmen tersebut sangat menentukan keberhasilan urutan aktivitas berikutnya, menimbulkan efek domino, serta berdampak finansial dengan resiko negative cash flow. Dalam skenario terburuk, akibat selanjutnya dapat menimbulkan kepanikan bagi sebagian orang, atau dalam sekala besar terjadi gerakan anarkis terhadap perusahaan besar yang bangkrut, yang tidak mampu membayar gaji atau pesangon pegawainya.

Siapa sebenarnya yang mampu menahan diri, atau terlihat tenang, seakan tidak terpengaruh sedikit pun oleh pembatalan janji? Pertama, umumnya ditunjukkan oleh mereka yang mengerti bahwa pembatalan itu tidak berdampak apa-apa pada perencanaannya, kecuali pergeseran jadwal. Kedua,  umumnya oleh mereka yang telah menyiapkan secara detil urutan perencanaan aktivitas termasuk peran cadangannya. Ketiga, tentu saja mereka yang memiliki cadangan finansial yang besar.
Memutuskan untuk tidak menepati bisa disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari masalah kurangnya sumber daya, kepadatan jadwal, kerusakan alat produksi, gangguan atau perubahan jalur transportasi, hingga pada kerusakan dahsyat akibat bencana alam atau bentuk kerusakan yang dikategorikan dalam force majeure (kerusakan diluar kendali).

Dalam keadaan dimana keputusan untuk tidak menepati dilakukan secara sepihak, atau tanpa alasan yang dapat diterima menurut aturan yang disepakati bersama, maka pembatalan ini dapat menimbulkan kerugian yang cukup berarti bagi kedua belah pihak. Bentuk kerugian bagi pihak yang dijanjikan telah dijelaskan di atas. Sementara kerugian bagi pihak yang membatalkan umumnya menyangkut masalah deklinasi dari  kredibilitas, imej, serta pencitraan. Ketiga hal ini merupakan hal-hal penting dalam segala segi hubungan kemanusiaan, bisnis maupun politik. Kredibilitas, imej, serta pencitraan adalah hal-hal yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Seseorang atau organisasi akan membutuhkan waktu panjang untuk menjadikan atau mengembalikan kredibilitas, imej, serta pencitraan dirinya sebagai modal dasar, dalam kepentingan hubungan baik secara pribadi dengan sahabat, dengan rekan bisnis, ataupun rakyat secara umum dalam kancah politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar